KONTEKS.CO.ID – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Bersih mendesak Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari mundur dari jabatannya.
Koalisi yang terdiri lebi dari 25 lembaga swadaya masyarakat (LSM) melihat bahwa Hasyim Asy’ari yang sudah melanggar etik sebanyak empat kali, telah memperburuk citra lembaga.
Mundurnya Hasyim Asy’ari harus segera dilakukan agar publik tidak semakin hilang kepercayaan baik terhadap institusi penyelenggara pemilu maupun terhadap pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengatakan Hasyim Asy’ari harus segera mundur agar publik tidak semakin hilang kepercayaan baik terhadap institusi penyelenggara pemilu maupun terhadap pelaksanaan pemilu itu sendiri.
Putusan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dikeluarkan pada Senin, 5 Februari 2024, telah menyatakan bahwa komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI terbukti melanggar etik.
Pelanggar etik itu karena menerima pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai salah satu calon wakil presiden untuk Pemilu 2024.
Pelanggaran etik terbukti telah dilakukan para komisioner karena tidak mengindahkan kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu.
Komisioner KPU tidak melakukan revisi aturan prosedur terkait syarat calon presiden dan wakil presiden pasca terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU-XXI/2023.
“Sebagai akibat dari tindakan para komisioner tersebut, Ketua KPU Hasyim Asy’ari dikenakan sanksi berupa peringatan keras terakhir, sedang enam orang komisioner lainnya dikenakan sanksi peringatan keras,” ujar Egi Primayogha dalam keterangan yang dikutip pada Kamis, 8 Februari 2024.
Komisi menyatakan bahwa putusan DKPP ini telah memperkuat putusan MK bahwa pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden cacat secara etika.
“Lebih penting, ini memperkuat bukti bahwa pemilu 2024 cacat integritas,” katanya.
Penyelenggara Pemilu yang seharusnya bersih dari kepentingan politik praktis justru bermain api.
Putusan DKPP sekaligus menunjukkan bahwa KPU RI selaku penyelenggara pemilu berkontribusi besar terhadap nepotisme dan politik dinasti yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
KPU dianggap tidak memiliki posisi moral untuk menyelenggarakan pemilu yang bersih dan berintegritas. Terlebih, Ketua KPU Hasyim Asy’ari sudah berkali-kali terbukti melanggar etik.
Dimulai sejak pernyataan kontroversialnya mengenai sistem pemilu, pertemuannya dengan Ketua Partai Republik Satu Hasnaeni ‘Wanita Emas’, tindakannya yang tidak menindaklanjuti Putusan MA mengenai kuota 30% untuk caleg perempuan, hingga terakhir mengenai pencalonan Gibran Rakabuming.
“KPU yang sejatinya memangku peran penting sebagai penyelenggara pemilu justru telah menjadi lembaga yang semakin menjauhkan pemilu dari nilai etika, profesionalitas, dan integritas,” katanya.
Sementara Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengatakan, tidak diragukan sama sekali, pencalonan Gibran sebagai Cawapres Paslon 02 sangat problematik dan cacat etik berat.
Putusan DKPP juga mempertebal daftar kecurangan Pemilu 2024 yang turut diwarnai cawe-cawe Presiden Jokowi dan problem netralitas instansi negara, pemerintah dan aparatur negara seperti TNI, Polri, ASN, Aparat Desa, dan kampanye paslon 02.
“Serta korupsi lewat programmatic politics Bantuan Sosial di berbagai daerah,” kata Julius Ibrani .
Koalisi juga menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia untuk memberikan sanksi etik kepada Paslon 02, Prabowo – Gibran dengan melakukan penolakan etik kepada Paslon 02 pada Pemungutan Suara pada 14 Februari mendatang.
Pemilih mesti mengekspresikan kedaulatan rakyat dengan tidak memilih paslon yang mengandung pelanggaran etik berat dan berulang.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"