KONTEKS.CO.ID – Berupaya menunjukan kinerja dan integritas sebagai lembaga anti rasuah, publik justru dikejutkan dengan perbuatan pungli massal yang dilakukan oleh 90 orang pegawai rutan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Padahal publik menaruh kepercayaan tinggi pada KPK untuk menangani Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terlampau kronis di Republik ini.
KPK sebagai lembaga negara yang diberikan mandat oleh UU untuk pencegahan dan penangangan tindak pidana korupsi, tidak berani menindak tegas kepada puluhan pegawainya sendiri.
Divisi Hukum, HAM, dan Demokrasi Seknas FITRA, Siska Baringbing, mengatakan pungli yang dilakukan 90 pegawai KPK sangat fantastis.
Namun kejadian tersebut patut diduga sangat sistematis, terorganisir dan kejahatan yang luar biasa karena dilakukan pegawai yang bekerja di KPK dan dipercaya oleh publik mampu menangani kasus-kasus korupsi di Indonesia.
“Jika sampai sebanyak 90 orang diduga melakukan pungli, publik tentunya dapat mengkategorikan perbuatan ini bukan lagi perbuatan oknum namun perbuatan lembaga dan terkesan ada pembiaran,” ujar Siska Baringbing dalam keterangan pada Kamis, 29 Februari 2024.
Siska menambahkan, pungli merupakan salah satu tindak pidana korupsi yang masuk dalam perbuatan menyalahgunakan jabatan dan kewenangan yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindakan Korupsi.
Dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bisa dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan Rp1 miliar.
Hanya Hukuman Minta Maaf
Pegawai KPK yang jelas melakukan pungli, ternyata mendapat pengecualian hukuman. Mereka hanya harus eminta maaf.
Ini justru memperparah kepercayaan rakyat pada KPK. Putusan yang lemah ini sangat mengusik rasa keadilan publik.
Setelah terungkap pungli oleh 90 orang pegawai Rutan KPK, kemudian 12 orang diproses Inspektorat, 10 diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Sebanyak 78 orang telah diperiksa dan dijatuhkan sanksi dalam persidangan etik oleh Dewan Pengawas KPK pada hari Senin, 26 Februari 2024.
“Ini merupakan tamparan keras bagi KPK sendiri,” katanya.
Tapi sayangnya putusan sidang etik yang hanya memberikan sanksi hukuman disiplin berupa permintaan maaf dan berjanji tidak akan melakukan perbuatan pungli lagi.
Putusan ini jelas mematahkan harapan publik terhadap kepastian hukum dalam penegakan UU Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.
“Putusan ini juga semakin mendegradasi kepercayaan publik terhadap KPK yang dari ketahun semakin menurun,” katanya.
Menurut Siska, putusan sidang etik berupa permintaan maaf jelas tidak cukup untuk menyelesaikan masalah.
“Pungli merupakan perbuatan penyalahgunanaan jabatan dan wewenang,” katanya.
Dengan hukukaman pemecatan, para oknum yang bersangkutan tersebut tidak lagi diberikan mandat untuk duduk dalam jabatan yang telah disalahgunakan tersebut.
“Maka sanksi yang paling pantas adalah pemecatan yang kemudian dilanjutkan dengan proses penyelidikan hukum,” katanya.
Seknas FITRA mendesak KPK dapat menindak dengan tegas. Hal ini Sebagai contoh pemerintah telah membentuk Tim Cyber Pungli bahkan telah ada beberapa perkara yang dijatuhi putusan hukum atas perbuatan pungli.
“Begitu juga baru-baru ini kasus dugaan pungli yang dilakukan oleh salah satu komisioner Bawaslu Medan dan saat ini sedang menjalankan persidangan di PN Medan,” katanya.
Selain itu, Seknas FITRA menyampaikan bahwa personel atau pegawai KPK tidak memiliki kekebalan hukum dalam melakukan pungli.
Karena itu, mereka tidak dapat terbebas dari ancaman pidana atas tindakan pungli yang dilakukan.
Publik patut mempertanyakan kredibilitas KPK yang diyakini sebagai lembaga penyelamat uang negara dalam menangani dugaan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Berdasarkan kajian, maka Seknas FITRA menegaskan:
1. Menuntut adanya kepastian hukum dan mengembalikan kepercayaan publik kepada KPK maka atas 78 orang pegawai KPK yang telah terbukti dalam sidang etik melakukan pungli dilanjutkan dengan proses penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi.
2. Lakukan Proses penyidikan atas 10 orang pegawai KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka harus dilakukan secara terbuka sehingga masyarakat dapat memantau proses. Integritas dan Akuntabilitas KPK dipertaruhkan dalam proses penanganan kasus ini.
3. Pegawai KPK tidak memiliki imunitas terhadap perbuatan korupsi justru apabila terbukti harus diberikan sanksi yang lebih berat dan harus dipecat mengingat tugas dan mandat sebagai pemberantas pidana korupsi justru malahan menjadi pelaku tindakan korupsi.
4. Pimpinan KPK harus melakukan reformasi internal KPK. Setelah sebelumnya KPK dijinakan oleh Firli harusnya saat ini KPK dapat lebih menguatkan atau membenahi kepercayaan publik.
Perbuatan dugaan Pungli 90 orang pegawai KPK ini menjadi preseden buruk bagi penanganan korupsi di Indonesia.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"