KONTEKS.CO.ID – Sejumlah guru besar dan akademisi sejumlah perguruan tinggi menyampaikan pernyataan sikap di Universitas Indonesia (UI) pada Kamis, 14 Maret 2024. Kondisi demokrasi semakin parah dan seruan akademisi justru dianggap residu politk oleh Presiden Jokowi.
Hal tersebut disampaikan Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun dalam Ilmiah Universitas Memanggil bertajuk ‘Menegakan Konstitusi Memulihkan Peradaban Berbangsa dan Hak Kewargaan’. Karenanya, residu politk yang disampaikan Presiden Jokowi sangat menyakitkan.
“Hampir menetaskan air mata, apa yang disampaikan guru besar, tapi di seberang sana ada yang mengatakan kita residu politik. Setega itu,” ujar Ubedilah Badrun pada Kamis, 14 Maret 2024.
Ubed mengatakan, secara politis dirinya mengambil kesimpulan bahwa masalah yang dihadapi bangsa saat ini sudah cukup parah. Bahkan secara terang benderang terjadi pengabaian terhadap kaum intelektual oleh Presiden Jokowi.
Dicontoh Ubed, bahwa pada 2019, saat ratusan ribu mahasiswa turun ke jalan yang memprotes kalau reformasi dikorupsi.
Secara bersamaan, ratusan kaum intelektual, bahkan guru besar mendatangi Istana untuk mengingatkan agar Jokowi tidak melakukan revisi Undang-Undang KPK, tetapi tidak didengar.
“Bayangkan kaum intelektual menyampaikan kebenaran tidak didengar. Faktanya hari ini, indeks korupsi kita skornya terendah dalam sejarah republik. Di tengah korupsi yang merajalela, KPK dilemahkan secara sistemik,” katanya.
Kemudian pengabaian terhadap kaum intelektual, cendikiawan, dan civil society diabaikan. Termasuk terhadap buruh, dan terjadi saat rezim ini meloloskan Undang-Undang Cipta Kerja.
“Ratusan ribu buruh bersama mahasiswa mengingatkan, bahwa undang-undangan ini menciptakan kemiskinan secara sistemik, yang korbannya adalah GenZ. Mengingatkan jangan lakukan itu, bahkan sekelas Profesor Emil Salim mengingatkan agar jangan disahkan, tapi tengah malam dengan terburu-buru, undang-undang ini disahkan,” katanya.
Menurut Ubed, apa yang dilakukan Jokowi merupakan pengabaian paling melecehkan terhadap kaum intelektual. Terutama saat Jokowi tidak dapat lagi menahan ambisinya, yang kemudian keluar putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.
“Ini menjadi karpet merah bagi putra mahkota, yang kemudian menyempurnakan dinasti politik Joko Widodo,” katanya.
Ubed menegaskan, apa yang dilakukan Jokowi adalah neootoritarianisme, satu model praktik otoriter dengan gaya baru. Ini dibuat Jokowi dengan cara membangun popularitas dari wong cilik.
“Dari gorong-gorong, seolah-olah dia (Jojowi) marasa dia dipiliah oleh bangsa ini dan dengna cara ini dia bisa melakukan apapun,” katanya.
“Menurut saya, ini persoalan yang sangat serius, apalagi dengan data-data yang trennya saat ini menurun. Indeks demokrasi turun 9 point, ngeri sekali. Bahkan indeks hak asasi manusia juga turun, dan skornya hanya 32,” katanya.
Jelas, bahwa semua ini terjadi karena Jokowi mengambaikan kaum cendikiawan. Mengabagaikan civil society, buruh, dan mahasiswa yang memiliki hak terhadap masa depan bangsa ini.
“Persoalan hari ini adalah persoalan bersejarah, kami semua percaya bahwa universitas adalah tempat di mana kaum cendikiawan yang berfikir dan berpengetahuan, yang memandu pikiranya dengan moral dan etik. Karena itu, hari-hari ke depan adalah hari-hari perjuangan,” katanya.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"