KONTEKS.CO.ID – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) presiden dan wakil presiden tahun 2024 pada Selasa, 2 April 2024.
Sidang Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 digelar dengan agenda pembuktian pemohon dengan mendengarkan keterangan ahli dan saksi dan pengesahan alat bukti tambahan dari paslon 03.
Profesor Filsafat STF Driyakara, Franz Magnis Suseno atau Romo Magnis, salah ahli yang dihadirkan dalam sidang. Dia menyampaikan bagaimana peran Presiden menggunakan kekuasan demi keuntungan sendiri dan keluarganya.
Romo Magnis menyampaikan sejumlah unsur-unsur yang bila itu benar terjadi, merupakan pelanggaran etika yang serius dan itu memiliki implikasi.
Dalam awal pemyampaiannya, Romo Magnis kemudian menyampaikan soal etika yang merupakan ajaran tentang baik dan tidak baik, sebagai kualitas manusia sebagai manusia.
“Etika membedakan manusia dari binantang. Binantang hanya mengikuti naluri-naluri alamiah, tetapi manusia sadar bahwa naluriah hanya boleh diikuti apabila baik dan bukan tidak baik,” kata Romo Magnis seperti dikutip dari YouTube Mahkamah Konstitusi RI pada, Selasa, 2 April 2024.
Menurutnya, apakah manusia itu baik atau tidak baik, itu dapat diukur apakah dia hidup secara etis atau tidak.
Kemudian yang kedua terkait masalah hukum. Menurutnya, tuntutan-tuntutan paling dasar sejak ribuan tahun, dituangkan manusi di dalam ketentuan-ketentuan hukum.
“Tidak memperhatikan hukum yang berlaku, dengan sendirinya merupakan pelanggaran etika. Saya tidak masalah konsensus objek,” katanya.
Sementara etika dan hukum, agar manusia dinilai secara etis, tidak cukup melanggar hukum. Etika justru menuntut lebih.
Keempat dibahas Romo Magnis soal etika dan penguasa. Tentu berlaku untuk seorang Presiden. Tidak cukup hanya tidak melanggar hukum, Presiden dituntut lebih.
Bahwa Presiden tak hanya harus melanggar hukum, tapi juga dituntut lebih dengan yang berkaitan dengan etika. Karena memiliki kekuasaan, harus bertanggungjawab atas keselematan seluruh bangsa.
Disampaikan kembali oleh Romo Magnis, bahwa Presiden harus menjadi milik semua. Tidak hanya sebagi milik mereka yang memilih.
Meski dari partai, setelah menjadi Presiden, seluruh tindakannya harus dilaksanakan untuk keselamatan seluruh rakyat.
“Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat Presiden menjadi mirip dengan pimpinan organisasi mafia,” kata Romo Magnis.
“Di sini dapat diingatkan bahwa wawasan etis Presiden Indonesia dirumuskan dengan bagus dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,” katanya lagi.
Sementara terkait dengan etiak dan pemilu. Setidaknya, yang ditutut secara etis dan hukum adalah seluruh proses menjamin warga dapat memilih sesuai apa yang mau dipilih.
“Masyarakat akan menuruti pemerintah dengan senang, apabila pemerintah bertindak atas dasar hukum yang berlaku. Dan hukum yang berlaku adalah adil dan bijaksana,” katanya.
“Apabila penguasa bertindak tidak atas dasar hukum, dan tidak demi kepentingan seluruh masyarakat, melainkan memakai kuasanya untuk menguntungkan kelompok, kawan, keluarganya sendiri, motivasi masyarakat untuk menaati hukum akan hilang,” katanya.
Menurut Romo Magnis, bila itu yang terjadi. Hidup masyarakat tidak lagi aman. Negera hukum akan merosot menjadi negara kekuasaan dengan wilayah kekuasaan seperti mafia.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"