KONTEKS.CO.ID – Polemik toleransi di masyarakat kembali terjadi, dan kali ini kericuhan terjadi antara mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (UNPAM) dan warga.
Warga membubarkan ibadah Rosario yang dilakukan mahasiswa di sebuah kontrakan di Kampung Poncol, Babakan, Setu, Tangerang Selatan.
Dari peristiwa tersebut, polisi telah menangkap empat terduga pelaku penganiayaan berserta barang bukti. Mereka adalah D (53), I (30), S (36) dan A (26).
Video dan narasi-narasi terkait peristiwa tersebut viral di berbagai platform, baik media sosial atau media arus utama.
Mengenai perkembangan situasi tersebut, pengamat kebijakan publik dari Nusantara Foundation, Imam Rozikin, memberi sejumlah catatan yang patut menjadi pertimbangan.
Pertama, peristiwa tersebut menandakan bahwa narasi memainkan peran penting dalam menjaga kondusivitas.
Kepemimpinan sosial, ketua RT, RW, Lurah dan tokoh masyarakat yang tidak mampu menjaga emosionalnya akan memperkeruh situasi. Harusnya masalah ini dapat dimusyawarahkan sesuai koridor Pancasila.
Kedua, peristiwa ini menjadi indikasi bahwa ada sesuatu yang salah. Apa yang menyebabkan doa dan ibadah menjadi begitu mengganggu.
Nilai-nilai toleransi, gotong-royong, dan persatuan bangsa seolah-olah dipinggirkan pada konteks tersebut.
Massa, dalam pertimbangannya, justru memilih memuaskan nafsu persekusi terhadap kelompok yang dianggap ‘meresahkan’.
Ketiga, ini adalah alarm peringatan bagi negara. Negara harus hadir mengelola keberagaman. Pendanaan, anggaran, biaya yang dikeluarkan untuk menanamkan dan mengejawantahkan Pancasila harus menghasilkan outcome yang jelas.
“Kita tidak lagi berbicara tentang output suatu kebijakan, melainkan lebih kepada arah filosofis suatu kebijakan atau value yang melekat dari suatu kebijakan itu sendiri,” kata Imam Rozikin dalam keterangan pers pada Senin, 13 Mei 2024.
“Apakah sesuai dengan filosofi yang mendasari suatu kebijakan sehingga menghasilkan kebijaksanaan negara,” katanya.
Pemerhati kebijakan yang tengah menyelesaikan studi doktoralnya di bidang ilmu pemerintahan pada perguruan tinggi ternama di Jakarta menambahkan, peristiwa itu menandakan pentingnya penanaman esensi 4 (empat) konsensus kebangsaan secara substantif dan dengan model-model yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Imam Rozikin mengajak seluruh elemen negara untuk memikirkan kembali model bagaimana konsensus bangsa Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Hal ini perlu terus diperkuat dalam kehidupan sehari-hari, mengingat betapa berbahayanya situasi ini jika disikapi hanya secara business as usual.
“Dapat kita lihat beberapa negara mulai kembali meningkatkan pemahaman terhadap nilai dan moralitas manusia secara universal yang terdegradasi,” katanya.
Cara-cara yang dilakukan tak lagi melalui sosialisasi, koordinasi, atau seminar-seminar di ruang tertutup, melainkan melalui cara-cara yang modern, baik itu melalui sarkasme di ruang publik, ataupun melalui ruang virtual di media sosial.
Menurut Imam Rozikin, peristiwa di Pamulang menjadi bagian penting dari beberapa catatan kasus yang diangkat dalam disertasinya tentang kebijakan dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama dari perspektif naratif policy framework.
Narasi kebijakan yang adaptif dan implementatif merupakan cara baru dalam menumbuhkembangkan Pancasila, khususnya tentang toleransi antar umat beragama.
“Dari data, masyarakat Indonesia sudah gandrung akan internet dan media sosial. Selain itu, media sosial menjadi salah satu platform yang paling sering dikunjungi. Atas dasar itulah, penyebaran nilai-nilai kerukunan yang konstruktif melalui media sosial menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan,” katanya.
“Di samping itu, media digital sebagai alat komunikasi dapat bekerja sangat efektif. Sehingga, landasan Pancasila sebagai pemersatu bangsa dapat meresap dan terwujud pada perilaku masyarakat serta berkembang menjadi sebuah kekuatan nasional yang menginspirasi dunia,” ujarnya lagi.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"