KONTEKS.CO.ID – Peringatan Hari Reformasi yang jatuh pada tanggal 21 Mei merupakan momen bersejarah bagi Indonesia.
Pada tanggal tersebut, Presiden Soeharto, yang telah memimpin negara selama 32 tahun, mengundurkan diri dari jabatannya.
Pengunduran diri ini menandai runtuhnya era Orde Baru dan menjadi simbol penting dalam perjalanan reformasi di Indonesia.
Latar Belakang Tuntutan Reformasi
Peristiwa besar ini tidak terjadi secara tiba-tiba. Sejak awal Mei 1998, Indonesia mengalami berbagai gejolak yang dipicu oleh krisis ekonomi dan ketidakpuasan terhadap pemerintahan Soeharto.
Pada 1 Mei 1998, Soeharto menyatakan bahwa reformasi baru akan dilakukan setelah tahun 2003, dengan alasan semua hal yang menyangkut reformasi sudah tertuang dalam GBHN 1998.
Namun, pernyataan ini tidak diterima baik oleh mahasiswa dan masyarakat yang sudah tidak percaya lagi pada pemerintahan.
Pada 2 Mei 1998, tuntutan reformasi mulai muncul dari 100 mahasiswa di Bali yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bali.
Aksi ini memicu gelombang demonstrasi di berbagai kota, termasuk kerusuhan massal di Medan pada 5 Mei 1998, di mana para mahasiswa dan warga turun ke jalan, merusak, membakar, dan menjarah toko-toko serta gudang penyimpanan barang.
Kerusuhan dan Tuntutan Reformasi Meluas
Kerusuhan yang dimulai di Medan kemudian menyebar ke berbagai daerah lain, menciptakan ketegangan rasial yang mendorong banyak warga keturunan Tionghoa untuk mengungsi.
Pada 12 Mei 1998, tragedi terjadi di Universitas Trisakti, Jakarta, ketika empat mahasiswa tewas ditembak aparat.
Sebelumnya, pada 7 Mei 1998, Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Wiranto mengimbau agar perjuangan mahasiswa dilakukan secara intelektual daripada fisik, namun situasi semakin memanas.
Di tengah kekacauan, pada 9 Mei 1998, Soeharto meminta masyarakat untuk memberikan kesempatan kepada DPR untuk memulai langkah reformasi, namun hal ini tidak menghentikan aksi demonstrasi.
Kejadian ini memperkuat solidaritas mahasiswa di seluruh Indonesia dan memicu kemarahan yang lebih besar.
Puncak Kerusuhan dan Mundurnya Soeharto
Kerusuhan berlanjut hingga 14 Mei 1998, dengan penjarahan dan pembakaran yang meluas di Jakarta.
Pada 15 Mei 1998, tragedi kembali terjadi di Sentra Plaza Klender Jakarta Timur dan Ciledug Plaza Tangerang. Tidak jelas berapa angka pasti, tapi data menyebut ada 273 orang tewas akibat kebakaran yang terjadi saat penjarahan.
Pada 18 Mei 1998, mahasiswa berhasil menduduki Gedung DPR/MPR, menuntut reformasi dan mendesak Soeharto untuk mengundurkan diri. Aksi tersebut berlangsung dengan tertib namun tetap menunjukkan kekuatan tekad mahasiswa dan rakyat.
Soeharto Mundur dan Akhir Orde Baru
Akhirnya, pada 21 Mei 1998, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Presiden Indonesia.
Pengumuman ini disaksikan oleh seluruh dunia dan menjadi momen yang bersejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia.
Proses pengunduran diri ini diikuti dengan penyerahan map kepada B.J. Habibie, yang kemudian dilantik sebagai Presiden menggantikan Soeharto.
Peringatan Hari Reformasi setiap tanggal 21 Mei menjadi pengingat bagi seluruh rakyat Indonesia akan pentingnya perjuangan untuk demokrasi dan reformasi.
Peristiwa ini menunjukkan kekuatan dan keberanian mahasiswa, pemuda, serta seluruh masyarakat dalam menghadapi rezim yang otoriter. Ini harus menjadi salah satu tonggak sejarah bangsa yang harus selalu diingat dan dihormati.
Peringatan Reformasi adalah momen penting dalam sejarah Indonesia yang menandai akhir dari kekuasaan Orde Baru Soeharto.
Peristiwa ini tidak hanya menjadi simbol keberhasilan perjuangan mahasiswa bersama rakyat untuk reformasi, tetapi juga pelajaran berharga tentang pentingnya mempertahankan demokrasi dan keadilan sosial di Indonesia.
Setiap tahun, pada tanggal 21 Mei, bangsa Indonesia mengenang perjuangan dan pengorbanan para pahlawan reformasi yang telah membawa perubahan signifikan bagi negara ini.
Reformasi Hari Ini dan Robohnya Etika Bernegara
Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menyampaikan, bahwa kondisi reformasi saat ini makin memprihatinkan. Seiring praktik kekuasaan yang korupsinya merajalela dan nir etika.
Demokrasi hanya sebagai prosedur formal untuk karpet merah keluarga (dinasti) dan oligarki mengendalikan kuasa.
Situasi ini tentu memerlukan perenungan mendalam mengapa semua itu terjadi? Padahal sudah 26 tahun reformasi berlalu.
Sejumlah pemikir sosial politik hukum dan ekonomi menyebutkan bahwa penyebabnya karena elite politik baru telah menghianati agenda reformasi.
Kondisi Indonesia saat ini justru memasuki episode neo-otoritarianisme dengan ditandai praktik kekuasaan yang memanipulasi hukum demi kepentingan kekuasaan.
Penguasa tidak lagi mengindahkan hal-hal etik dalam praktik kekuasaanya. Etika bernegara tidak lagi menjadi suluh penerang dalam mengelola negara.
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme tidak lagi malu. Memanipulasi hukum tidak lagi malu. Menghalalkan segala cara demi kekuasaan tidak lagi malu, bahkan melakukan represi simbolik terus menerus dilakukan.
Realitas itu sesungguhnya menunjukkan bahwa etika bernegara telah roboh. Ini waktunya seluruh komponen bangsa untuk berpikir mendalam untuk menemukan jalan terbaik bagi bangsa ini di hari-hari mendatang.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"