KONTEKS.CO.ID – Memperingati 26 tahun reformasi, hasil dari gerakan mahasiswa dan rakyat untuk menumbangkan rezim orde baru pada 1998.
Bangsa ini, kemudian secara sadar dan secara substantif menginginkan Indonesia maju dan beradab.
Baik dalam budang ekonomi, demokrasi, hak asasi manusia, birokrasi, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Aktivis 98 dari Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta, Ubedillah Badrun mengatakan, realitasnya kini setelah 26 tahun berlalu ekonomi masih mengalami stagnasi dengan angka pertumbuhan ekonomi hanya 5 persen.
Menurutnya, demokrasi juga masih stagnan dan cenderung memburuk dengan posisi indeks sebagai flawed democracy.
“Indeks Hak Azasi Manusia (HAM) juga masih buruk skornya hanya dikisaran 3,2, indeks korupsi juga sangat buruk skornya hanya 34,” kata Ubed di Peringatan 26 tahun Reformasi di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, pada Selasa, 21 Mei 2024.
Adapun acara Peringatan 26 Tahun Reformasi digelar selama tiga hari hingga 23 Mei 2024.
Kemudian, Ubed menyebutkan bahwa kebudayaan Indonesia juga tidak tumbuh secara sehat. Lantaran etika bernegara telah runtuh, dari sisi ilmu pengetahun dan teknologi juga masih jauh tertinggal.
Selain itu, lanjut dia, hal yang sangat memprihatinkan yakni pencapaian angka PISA (Program International Students Assessment) bangsa ini masih diperingkat bawah.
“Bahkan skor rata-rata IQ bangsa ini termasuk bangsa yang mengalami gangguan intelektual karena skor rata-ratanya hanya mencapai 78,49,” ungkapnya.
“Padahal realisasi anggaran Pendidikan kini sudah mencapai lebih dari Rp.500 triliun,” katanya lagi.
Ubed mengungkapkan, seiring praktik kekuasaan yang korupsinya merajalela dan nir etika, demokrasi hanya dijadikan sebagai prosedur untuk karpet merah keluarga (dinasti), nepotisme.
Bahkan kini oligarki terlihat lebih mengendalikan kekuasaan. Celakanya para penguasa membiarkan dan bahkan menikmati situasi ini.
“Gagasan utama reformasi untuk hadirkan demokrasi yang berkualitas, pemerintahan yang menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia, dan pemerintahan yang bersih serta bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 28 tahun 1999 kini telah nyata-nyata dinodai dan dilanggar,” katanya.
Oleh karena itu melalui Peringatan 26 Tahun Reformasi ini, Ubed bersama dengan para aktivis lainnya menyampaikan sebuah Manifesto perlawanan yaitu Manifesto Diponegoro.
“Bahwa kami aktivis 98 garis lurus, akademisi, mahasiswa, para aktivis civil society, buruh, aktivis pro demokrasi , petani, ibu-ibu, remaja dan rakyat jelata menyatakan bahwa kami masih ada dan akan terus melawan (nahiy munkar),” kata dia.
Berikut pertanyataan sikap Peringatan 26 Tahun Reformasi:
1. Terus melakukan perlawanan terhadap praktik kekuasaan yang merusak demokrasi, mengabaikan etika bernegara dan tidak menjunjung tinggi Hak Azasi Manusia (HAM);
2. Terus melakukan perlawanan terhadap praktik kekuasaan yang menjalankan kekuasaan dengan cara-cara yang otoriter dan merusak masa depan generasi muda;
3. Terus melakukan perlawanan terhadap praktik kekuasaan yang Koruptif, Kolutif dan Nepotis (KKN), yang tidak menjalankan prinsip-prinsip good governance dan client government;
4. Terus melakukan perlawanan terhadap praktek kekuasan yang melakukan manipulasi hukum (autocratic legalism) dan mengabaikan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945;
5. Terus melakukan perlawanan dengan cara gotong royong dengan seluruh komponen bangsa demi tercapainya tujuan negara sebagaimana termaktub dalam pembukaan.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"