KONTEKS.CO.ID – Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan pemerintah akan memberikan lima gelar Pahlawan Nasional pada 7 November 2022. Salah satu tokoh yang mendapatkan gelar pahlawan Nasional tersebut adalah KGPAA Paku Alam VIII.
Konteks.co.id merangkum perjalanan KGPA KGPAA Paku Alam VIII dari seorang Raja hingga menjadi Pahlawan Nasional dari berbagai sumber.
Terlahir dengan nama dan gelar BRMH, Sularso Kunto Suratno pada 10 April 1910 adalah Raja Pakualaman VIII yang diangkat sebagai KPH Prabu Suryodilogo pada 4 September 1936. Dia adalah adalah penguasa Paku Alam dan juga penguasa negeri pecahan Mataram yang berkuasa paling lama, dengan memimpin selama 61 tahun. Dia wafat pada 11 September 1998.
Atas perannya dalam integrasi Pakualaman bersama dengan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ke dalam Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan, Pemerintah memberikan gelar Pahlawan Nasional pada 7 November 2022.
KGPAA Paku Alam VIII pernah mengenyam pendidikan di Europesche Lagere School Yogyakarta, Christelijke MULO Yogyakarta, AMS B Yogyakarta, Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta – sampai tingkat candidaat).
Pada 13 April 1937 ia ditahtakan sebagai Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Prabu Suryodilogo menggantikan mendiang ayahnya. Setelah kedatangan bala tentara Jepang pada tahun 1942, dia mulai menggunakan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VIII.
KGPAA Paku Alaman VIII bersama Hamengkubuwono IX pada 19 Agustus 1946 mengirimkan telegram kepada Soekarno dan Mohammad Hatta atas berdirinya RI dan terpilihnya Dwi Tunggal sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pertama.
Selanjutnya pada 5 September 1945 secara resmi KGPAA Paku Alam VIII mengeluarkan amanat/maklumat (semacam dekrit kerajaan) yang menyatakan bergabungnya Kadipaten Pakualaman dengan Negara Republik Indonesia. Sejak saat itulah kerajaan kecil pecahan Mataram ini menjadi daerah istimewa.
Melalui Amanat Bersama antara Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII dan dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Daerah Yogyakarta pada tanggal 30 Oktober di tahun yang sama, mereka berdua sepakat untuk menggabungkan Daerah Kasultanan dan Kadipaten dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta.
Setelah berdirinya Daerah Istimewa Yogyakarta atau disingkat DIY, KGPAA Paku Alam VIII menjabat sebagai Wakil Kepala Daerah Istimewa (Wakil Gubernur DIY), Wakil Ketua Dewan Pertahanan DIY (Oktober 1946), Gubernur Militer DIY dengan pangkat Kolonel (1949 setelah agresi militer II). Karir militernya terakhir dengan pangkat Mayor Jenderal titular.
Mulai tahun 1946-1978 Paku Alam VIII sering menggantikan tugas sehari-hari Hamengkubuwono IX sebagai kepala daerah istimewa (Gubernur) karena kesibukan Hamengkubuwono IX sebagai menteri dalam berbagai kabinet RI.
Selain itu ia juga menjadi Ketua Panitia Pemilihan Daerah DIY dalam pemilu tahun 1951, 1955, dan 1957; Anggota Konstituante (November 1956); Anggota MPRS (September 1960) dan terakhir adalah Anggota MPR RI masa bakti 1997-1999 Fraksi Utusan Daerah.
Setelah Hamengkubuwono IX mangkat pada tahun 1988, Paku Alam VIII menggantikan sang mendiang menjadi Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta sampai akhir hayatnya pada 1998.
KGPAA Paku Alam VIII bersama Hamengkubuwono X mempunyai peran dalam proses reformasi 1998. Peran tersebut berupa maklumat yang dikeluarkan keduanya pada 20 Mei 1998. Maklumat untuk mendukung Reformasi Damai untuk Indonesia tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut Pisowanan Agung.
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"