KONTEKS.CO.ID – Pembunuhan berencana aktivis HAM Munir Said Thalib masih diselimuti tabir misteri karena belum mengungkap aktor utamanya.
Pada 7 September 2004, Munir dibunuh menggunakan racun arsenic secara terencana. Pengadilan telah memutus dua orang aktor lapangan dan membebaskan Muchdi Purwoprandjono, yang saat itu menjabat salah satu Deputi Badan Intelijen Negara (BIN).
Pada 7 September 2022, kasus Munir memasuki kadaluarsa karena akan melampaui 18 tahun sejak peristiwa terjadi karena konstruksi yang dibangun dalam penyelesaian kasus Munir adalah pembunuhan biasa.
Padahal merujuk pada dokumen Tim Pencari Fakta Munir (TPF) yang banyak beredar, kasus Munir bukanlah pembunuhan biasa tetapi pembunuhan yang diduga dilakukan oleh aktor negara dan merupakan kejahatan kemanusiaan karena Munir di bunuh di luar atau tanpa proses peradilan (extra judicial killing).
Ketua Setara Institute Hendardi langsung bersuara melempemnya negara mengungkap kasus pembunuhan Munir. Komnas HAM dinilai lebih memilih jalur aman dengan tidak menangani kasus Munir sebagai salah satu peristiwa yang merupakan pelanggaran HAM.
Bahkan Komnas HAM baru membentuk Tim Ad Hoc untuk penyelidikan kasus ini justru menjelang tibanya masa kadaluarsa.
“Komnas HAM jelas pilih jalur aman dan berlindung di ujung masa kadaluwarsa dan di ujung masa jabatan Komnas HAM periode 2017-2022 yang akan berakhir Desember,” katanya dalam keterangannya, dikutip Kamis (8/9/2022).
Dia mengatakan, alih-alih menjadi instrumen percepatan penanganan kejahatan HAM, Komnas HAM periode ini , kata Hendardi, justru menebalkan impunitas sejumlah pihak yang diduga terlibat dalam pembunuhan Munir.
“Padahal, sejak Tim Pencari Fakta Munir (TPF) menyelesaikan tugasnya di 2005, Komnas HAM semestinya sudah bisa melakukan kerja penyelidikan sehingga kasus ini terus bisa ditindaklanjuti dengan menggunakan kerangka UU 39/1999 dan UU 26/2000,” ujarnya.
Selain kepada Komnas HAM, Setara Institute juga menyoroti sikap Presiden Jokowi yang dinilai tak pernah tuntas memahami duduk perkara kasus Munir.
Saat didesak menindaklanjuti rekomendasi TPF Munir, kata dia, Presiden Jokowi melalui Menteri Sekretaris Negara mengatakan tidak mengetahui laporan tersebut.
“Sebagai seorang presiden, semestinya Jokowi memahami bahwa tugas penuntasan pelanggaran HAM itu melekat pada dirinya, sekalipun peristiwa itu terjadi di masa sebelumnya,” ungkapnya.
Dia menambahkan, TPF kasus tewasnya Munir telah menyerahkan laporan tersebut kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam kapasitasnya sebagai Presiden. Itu berarti tugas lanjutan melekat pada presiden berikutnya.
“Bahkan karena Jokowi terus mengelak, SBY pun berinisiatif mengirimkan copy laporan tersebut pada 26/10/2016 kepada Jokowi. Tetapi nyatanya, hingga periode kedua Jokowi tersisa 2 tahun lagi, Jokowi tetap tidak tuntas memahami kewajibannya sebagai Presiden sebagai duty barrier atau pemangku kewajiban dalam hukum hak asasi manusia,” ungkap dia.[]
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"