KONTEKS.CO.ID – SETARA Institute merespons terobosan Menag Yaqut Cholil Qoumas yang meniadakan rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam pendirian rumah ibadah.
Dalam keterangan resminya, SETARA Institute menyebut, sejak 3,5 tahun lalu, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas sudah berulang kali menyampaikan komitmennya di depan publik. Yakni komitmen akan menyederhanaan pengajuan izin pendirian rumah ibadah.
Dalam Rancangan Peraturan Presiden mengenai Kerukunan Umat Beragama (Raperpres PKUB), Menag menghapus rekomendasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai syarat pegajuan izin pendirian rumah ibadah.
Dengan demikian, syarat rekomendasi pendirian rumah ibadah hanya satu yakni dari Kementerian Agama (Kemenag) melalui Kantor Wilayah-nya.
Berbeda dengan Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No 9 dan 8 Tahun 2006 (PBM 2006) yang berlaku saat ini, rekomendasi yang dipersyaratkan dalam perizinan pendirian rumah ibadah berasal dari dua Institusi. Masing-masing dari Kantor Kemenag dan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB).
Gagasan ini mendapat dukungan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Namun sayangnya tertolak oleh Wakil Presiden, Ma’ruf Amin.
Wapres menilai seharusnya kebijakan perlunya rekomendasi dari FKUB patut pemerintah pertahankan. Hal ini karena rekomendasi FKUB dipandang sebagai suatu kebutuhan persetujuan dari pemuka-pemuka agama.
Menimbang hal di atas, Halili Hasan, Direktur Eksekutif SETARA Institute, mengatakan, pihaknya perlu menyampaikan sejumlah pernyataan.
“Pertama, kami mengapresiasi langkah progresif penghapusan syarat rekomendasi FKUB tersebut. Langkah tersebut lebih kompatibel dengan tata kebinekaan Indonesia yang terdiri dari berbagai identitas agama dan kepercayaan,” kata Halili Hasan, mengutip Minggu 11 Agustus 2024.
Masalah Pembangunan Rumah Ibadah Bukan Hanya Rekomendasi FKUB
Dalam beberapa laporan tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB), lanjut dia, SETARA Institute mendorong agar pemerintah menyederhanakan proses perizinan pendirian rumah ibadah. Selain itu, pemerintah hendaknya melakukan langkah progresif untuk menghilangkan ketentuan-ketentuan diskriminatif lainnya di dalam PBM 2 Menteri tahun 2006.
“Perlu ditegaskan bahwa hambatan dalam perizinan pendirian rumah ibadah bukan hanya mengenai rekomendasi FKUB. Salah satu syarat yang membatasi kelompok minoritas yaitu syarat administratif dukungan 90 orang jemaat dan 60 orang di luar jemaat,” katanya.
Ia menegaskan, formula 90/60 nyata-nyata menghambat terjaminnya hak konstitusional untuk beribadah yang oleh Pasal 29 ayat (2) diberikan kepada setiap orang atau tiap-tiap penduduk.
“Kedua, dengan rencana penghapusan syarat rekomendasi dari FKUB, maka mereka dapat teroptimalkan perannya dalam membangun dan memelihara kerukunan. Ini sesuai mandat institusional kerukunan antarumat beragama,” paparnya.
Ia menambahkan, FKUB mesti memainkan peran yang lebih intensif dalam memperluas edukasi dan kampanye toleransi, memperbanyak ruang-ruang perjumpaan lintas agama.
Serta mitigasi dan resolusi konflik yang mengganggu kerukunan antar agama. Termasuk mediasi dan resolusi jika terjadi kasus penolakan peribadatan dan pendirian tempat dan rumah ibadah. “Hal itu mesti ditegaskan secara eksplisit dalam Raperpres PKUB,” kata Halili.
Ketiga, sambung dia, secara faktual, dalam tata kebinekaan dan heterogenitas Indonesia yang kompleks, FKUB belum optimal dalam mencegah dan menangani berbagai pelanggaran KBB. Khususnya gangguan tempat ibadah di berbagai daerah.
Dalam Laporan Kondisi KBB SETARA Institute, sepanjang tahun 2023, ada 65 tempat ibadah mengalami gangguan yang beragam. Mulai dari penolakan pendirian, pembatasan pendirian, pelarangan pendirian, hingga penyegelan tempat ibadah.
Angka gangguan tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, yang mana terdapat 50 tempat ibadah yang mengalami gangguan sepanjang 2022.
Ratusan Gangguan sejak 2007
Bahkan jika ditarik dalam spektrum waktu yang lebih panjang sejak riset KBB dilakukan pertama kali oleh SETARA Institute (2007-2023) telah terjadi 636 gangguan terhadap peribadatan dan tempat ibadah.
Gangguan tersebut mencakup pembubaran dan menolakan peribadatan, penolakan tempat ibadah, intimidasi, perusakan, pembakaran, dan lain sebagainya. Seluruh gangguan tersebut menimpa kelompok minoritas dalam relasi inter dan intra agama.
Dengan demikian, tegas dia, terbutuhkan transformasi kelembagaan dan peran FKUB. Antara lain, melalui:
Pergeseran asas keanggotaan FKUB, dari asas proporsionalitas menjadi asas inklusi.
Rekrutmen anggota FKUB secara lebih terbuka dan akuntabel dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil yang relevan di tingkat lokal
Perluasan peran tokoh agama perempuan dalam FKUB dengan kebijakan afirmatif. Misal minimal keanggotaan 30% tokoh agama perempuan, dan beberapa muatan progresif lainnya.
Keempat, terdapat kemendesakan untuk mengakselerasi kebijakan progresif dalam Raperpres PKUB dengan muatan yang lebih komprehensif dan berpihak pada jaminan hak atas KBB seluruh warga negara.
Halili mengatakan, janji pemerintah kepada publik untuk mempermudah pendirian tempat ibadah kelompok minoritas dan meninjau ulang PBM 2 Menteri tahun 2006 harus terpercepat. Dengan konsolidasi muatan yang lebih sesuai dengan keragaman identitas di Indonesia.
Hingga kini, tidak tampak akselerasi yang menggembirakan untuk melaksanakan komitmen mengenai kebijakan yang lebih progresif tentang pendirian rumah ibadah.
“Kelima, terkait pernyataan Wakil Presiden yang menentang gagasan untuk mempermudah syarat pendirian rumah ibadah, SETARA Institute memandang bahwa pernyataan publik itu cenderung berpihak kepada aspirasi kelompok mayoritas yang kurang sesuai dengan kebinekaan Indonesia,” tulisnya.
Azeem Marhendra Amedi, Peneliti SETARA Institute, menabahkan, sebagai pandangan pribadi, apalagi beliau adalah mantan Ketua MUI, statemen tersebut dapat termaklumi.
Namun bila pernyataan Beliau tersampaikan dalam kapasitas sebagai Wakil Presiden, hal itu menunjukkan paradigma dan perspektif kebinekaan di internal pemerintahan memang tidak solid.
“Sekaligus menggambarkan egoisme sektoral akut antar institusi pemerintahan, yang berkontribusi besar bagi terjadinya stagnasi KBB dalam dua dekade terakhir,” pungkas Azeem. ***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"