KONTEKS.CO.ID – Pembicaraan pemilu harusnya lebih maju dan tidak sekadar membicarakan siapa pengganti presiden. Bukan siapa bakal menjadi presiden berikutnya, namun perubahan yang lebih substansial. Saat ini oligarki masih berkuasa dan supremasi kedaulatan rakyat harus jadi prioritas.
Situasi politik dan ekonomi Indonesia jelang tahun politik dan ancaman resesi ekonomi harus disikapi dengan baik. Kekisruhan soal penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan Presiden Jokowi dianggap tak terlalu relevan untuk menjadi pembahasan. Oligarki saat ini masih berkuasa, dan harus ada pergeseran prioritas, seperti Supremasi Kedaulatan Rakyat.
Menurut budayawan Erros Djarot, pembicaraan soal pemilu harusnya lebih maju lagi dan bukan sekadar soal pemilu atau membicarakan siapa pengganti presiden. Sebab yang ditunggu bukanlah sekadar siapa menjadi presiden berikutnya, namun perubahan yang lebih substansial.
“Saya melihat pembangunan dalam konteks material ada kontribusi yang baik. Tapi pembangunan immaterial adalah hal yang serius yang perlu jadi pembicaraan,” ujar Erros.
Ia menegaskan, kekuasaan hari ini sesungguhnya masih di tangan oligarki. Ekonomi dikendalikan dan core financial dipegang oleh segelintir orang.
Menurut Erros, hingga hari ini ia belum melihat presiden yang betul-betul melaksanan Pasal 33 UUD 45. Ia mencontohkan, di era Orde Baru menambang minyak hanya mendapat 15 persen, sisanya adalah negara. Namun hari ini malah mendapatkan lisensi penuh.
“Jadi ada segelintir orang yang bisa menyetir semua. Bahkan mulai dari pemilihan gubernur sampai pemilihan presiden,” kata Erros.
Budayawan yang juga politisi ini menekankan, arena demokrasi yang ditandai pemilu ternyata menghasilkan kekuasaan semu, karena kekuasaan sesungguhnya ada di tempat lain, dan merekalah pengendali bangsa ini. Erros juga mengatakan, siapapun partai pemenang pemilu, kekuasaan yang dimiliki adalah kekuasaan seolah-olah, bukan kekuasaan sesungguhnya.
Perubahan kondisi ini juga tidak lepas dari peran intelektual yang menurut Erros saat ini berbalik. Sebab, seharusnya presiden meminta pertimbangan pada kaum intelektual, namun kondisi hari ini justru kaum intelektual yang meminta arahan dari presiden. Erros menyebutkan, jika dibiarkan, kondisi inilah yang disebut the death of intellectual society.
Erros menawarkan agar negara ini mengecek kembali supremasi yang perlu menjadi prioritas. Jika selama ini supremasi hukum yang terus didengungkan, ia menyarankan untuk menggeser itu. Sebab supremasi hukum sudah tidak tepat untuk kondisi hari ini, di mana para penegak hukum tidak lagi mendapatkan kepercayaan dari publik. Sebagai gantinya, Erros menyatakan supremasi kedaulatan rakyat perlu menjadi prioritas.
Sementara itu, bergulirnya wacana penundaan pemilu yang disampaikan kembali oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo, menurut pakar ekonomi Prof. Anthony Budiawan, melanggar konstitusi, jadi tidak perlu disuarakan. Soal anggaran yang menjadi alasan penundaan pemilu bukan kendala, karena ada dana di APBN yang sudah disiapkan dan harus dipakai.
“Tidak ada alasan apapun yang bisa membenarkan penundaan Pemilu,” ujarnya dalam Dialog Akhir Tahun bertajuk “Indonesia di Tengah Tahun Politik dan Ancaman Krisis Ekonomi” yang digelar Unpacking Indonesia, Jumat malam, 16 Desember 2022.
Anthony meminta pejabat publik tidak asal bicara. Berbeda dengan rakyat biasa, pejabat publik harusnya memiliki rambu-rambu dan mampu bicara sesuai konstitusi.
Senada dengan Erros, politisi Partai Nasdem Akbar Faisal juga menyatakan ada hal yang perlu dibenahi oleh pemerintah hari ini. Akbar memberikan apresiasi atas pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Namun menurutnya saat ini fokus pada pembangunan infrastruktur sudah waktunya digeser untuk pembenahan yang lain.
Menurutnya, banyak masalah yang juga perlu diberikan fokus di sisa pemerintahan Presiden Jokowi. Akbar mencontohkan kasus narkoba, mafia tambang, dan perjudian yang terjadi di kepolisian. Juga penangkapan koruptor yang dilakukan oleh KPK. Menurut Akbar, dibalik itu semua ada hal yang lebih substansi yang perlu menjadi perhatian dan prioritas presiden untuk dibenahi.
Akbar juga menyoroti jalannya pemerintahan hari ini yang nyaris tanpa oposisi. Ia meminta kepada partai-partai baru yang akan berlaga di Pemilu 2024 tidak hanya menyiapkan diri untuk menjadi pemenang, tapi jika kalah juga siap untuk menjadi penyeimbang kekuasaan. Akbar tak berharap Pemilu 2024 akan kembali menjadi ajang untuk membangun koalisi besar.
Kekritisan Eros Djarot dan Akbar Faisal terhadap jalannya pemerintahan hari ini ditanggapi berbeda oleh politisi dari PDI Perjuangan Adian Napitupulu. Sebagai bagian dari partai yang punya peran besar dalam memenangkan Jokowi ke kursi presiden, Adian meminta agar semua mengecek bahwa tidak ada manusia yang sempurna.
Begitupun seorang pemimpin. Setiap pemimpin akan punya kekurangan, tapi juga punya kelebihan. Menurut Adian, nyaris mustahil mendapatkan pemimpin yang sempurna.
“Saya tidak membela Jokowi, tapi saya membela harapan-harapan yang dulu sepertinya sulit kita raih,” ujarnya.
Menurut Adian, hari ini yang harusnya menjadi alat ukur adalah tindakan seorang pemimpin. Apakah tindakannya masih sesuai konstitusi. “Kapan kita akan memiliki presiden yang sempurna? Tidak akan terjadi. Selama kita masih dipimpin manusia, akan selalu ada kekurangan-kekurangan yang terjadi,” kata Adian.
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"