KONTEKS.CO.ID – Amnesty Internasional Indonesia menyikapi pernyataan Presiden Joko Widodo, yang menyesalkan terjadinya 12 kasus pelanggaran HAM berat dari tahunn1965-2023.
“Menurut pendapat kami, pengakuan Presiden Joko Widodo atas pelanggaran HAM di masa lalu tersebut tidak ada artinya tanpa pertanggungjawaban hukum,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melalui keterangan tertulis, Kamis 12 Januari 2023.
Meski begitu Amnesty International Indonesia mengapresiasi pengakuan yang disampaikan oleh Presiden Jokowi secara langsung. Setelah menerima data dari Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Tim PPHAM) di Kantor Presiden, 11 Januari 2023,
“Kami menghargai sikap Presiden Joko Widodo dalam mengakui terjadinya pelanggaran HAM sejak tahun 1960-an di Indonesia, pernyataan ini sudah lama tertunda mengingat penderitaan para korban yang dibiarkan dalam kegelapan tanpa keadilan, kebenaran, dan pemulihan selama beberapa dekade,” ungkapnya.
Namun menurut Usman, pengakuan belaka tanpa upaya mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu hanya akan menambah garam pada luka korban dan keluarganya.
“Sederhananya, pernyataan Presiden tersebut tidak besar artinya tanpa adanya akuntabilitas,” tegasnya.
Selain itu menurut Usman, pemerintah hanya memilih 12 peristiwa sebagai pelanggaran HAM berat, sementara secara nyata mengabaikan kasus HAM lainnya. Seperti Operasi militer di Timor Timur, tragedi Tanjung Priok 1984, peristiwa penyerangan 27 Juli 1996, hingga kasus pembunuhan Munir 2004.
“Pemerintah mengabaikan fakta bahwa proses penyelidikan dan penyidikan setengah hati selama ini – termasuk dalam empat kasus yang tidak disebutkan detailnya. Hal itu telah menyebabkan pembebasan semua terdakwa dalam persidangan pengadilan HAM terdahulu.
“Jika Presiden Joko Widodo benar-benar berkomitmen untuk mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM berat, pihak berwenang Indonesia harus segera, efektif, menyeluruh, dan tidak memihak menyelidiki semua orang yang diduga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu,” paparnya.
Usman menambahkan, Menkopolhukam Mahfud MD tidak bisa hanya mengatakan bahwa pengadilan HAM terdahulu membebaskan semua terdakwa hanya karena tidak cukup bukti. Karena selama ini lembaga yang berwenang dan berada langsung di bawah wewenang Presiden, yaitu Jaksa Agung, justru tidak serius dalam mencari bukti melalui penyidikan.
“Kami mengingatkan pemerintah Indonesia bahwa mengakhiri impunitas melalui penuntutan dan penghukuman pelaku adalah satu-satunya cara untuk mencegah terulangnya pelanggaran hak asasi manusia,” kata Usman.
“Serta memberikan kebenaran dan keadilan sejati kepada para korban dan keluarganya. Pelaku harus dihadapkan pada proses hukum, jangan dibiarkan, apalagi sampai diberikan kedudukan dalam lembaga pemerintahan,” pungkasnya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"