KONTEKS.CO.ID – Aliansi Jurnalis Indipenden (AJI) Indonesia mengacam pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi yang telah mengeluarkan Perppu Cipta Kerja yang mengesampingkan putusan Makamah Konstitusi (MK) dan mengabaikan partisipasi publik.
“AJI Indonesia mengecam keputusan pemerintah yang terus mengabaikan partisipasi publik dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers dalam penerbitan Perppu Ciptra Kerja,” kata Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito dalam keterangan tertulis, Kamis 12 Januari 2023.
Sasmito menjelaskan, Perppu Cipta Kerja memiliki dampak yang besar bagi semua pekerja di tanah air, tidak terkecuali pekerja media.
AJI Indonesia telah menganalisis sejumlah pasal di klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja yang merugikan pekerja antara lain:
a. Pasal 156 yang mengatur tentang pesangon masih dipertahankan di Perppu Cipta Kerja. Ini artinya penghitungan pesangon tetap mengacu pada aturan turunan UU Cipta Kerja yakni Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Dalam beberapa kasus PHK, PP ini merugikan pekerja media karena jauh lebih buruk dibandingkan UU Ketenagakerjaan,” ujarnya.
b. Pasal 163 dan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan dalam Perppu Cipta Kerja dihapus, sama dengan UU Cipta Kerja. Kedua pasal ini mengatur tentang hak buruh atas uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2).
“Hal ini tentu merugikan pekerja media yang di-PHK karena mengurangi besaran pesangon yang semestinya didapatkan,” ucapnya.
c. AJI Indonesia juga menemukan pasal-pasal terkait pengaturan alih daya, pekerja kontrak, pengaturan waktu kerja, dan cuti yang sama dengan UU Cipta Kerja. Praktik tentang ketentuan ini jamak ditentukan di dunia pers dan merugikan pekerja media.
“Sebagai contoh pekerja alih daya di televisi yang dikontrak hingga belasan tahun, dengan cara diperbaharui kontraknya setiap tahun dengan perusahaan yang berbeda,” ungkapnya.
Selain itu AJI Indonesia juga menyoroti revisi Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dalam UU Cipta Kerja yang kemudian dipindahkan ke Perppu Cipta Kerja.
“Salah satunya tentang ketentuan yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran, Perppu Cipta Kerja membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional,” ungkapnya.
Hal ini sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Sebab, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh.
“Perppu Cipta Kerja juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran, dihilangkan,” jelasnya.
Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.
“Atas dasar ini, AJI Indonesia menyampaikan sikap, menuntut Presiden Joko Widodo untuk mencabut Perppu Cipta Kerja yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada November tahun lalu. Apalagi pembentukan Perppu ini tidak melibatkan partisipasi publik,” tegasnya.
AJI Indonesia menuntut DPR untuk menolak Perppu Cipta Kerja yang telah merendahkan pilar-pilar negara hukum dan mengkhianati konstitusi negara Republik Indonesia.
“DPR sebagai wakil masyarakat tidak boleh menjadi alat atau stempel pemerintah yang jelas melanggar konstitusi,” pungkasnya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"