KONTEKS.CO.ID – Pengakuan Presiden Jokowi terkait 12 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu merupakan sebuah pernyataan yang berpotensi mengubah arah perjalanan dalam kehidupan bertanah air, berbangsa, dan bernegara.
Pengakuan Presiden Jokowi disampaikan setelah bertemu Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (TPPHAM), Rabu 11 Januari 2023.
Direktur Eksekutif Strategi Institute, Mahendra Uttunggadewa, menggarisbawahi bahwa pernyataan Jokowi terkait pelanggaran HAM berat menarik dan menjadi pertanyaan karena diumumkan pada tahun politik jelang kontestasi Pemilu 2024.
Lebih jauh, Mahendra berpendapat publik perlu mengetahui bagaimana proses yang telah dilakukan oleh Tim PPHAM, sehingga memperoleh temuan adanya 12 peristiwa yang terindikasi pelanggaran HAM berat.
Kemudian juga bagaimana pula proses lanjutan dari hasil temuan tersebut dengan berbagai implikasinya.
“Namun yang justru menarik untuk dicermati adalah ketika muncul pertanyaan, mengapa temuan tersebut diumumkan di tahun politik menjelang kontestasi Pemilu 2024?” kata Dandhi dalam keterangannya kepada konteks.co.id, Jumat, 13 Januari 2023.
“Atau dalam kalimat berbeda, apa urgensinya untuk membuka tragedi kemanusiaan masa lalu di tengah memanasnya situasi politik menjelang Pemilu 2024?” tanya aktivis 1998 dari FKSMJ ini.
Mahendra yang akrab disapa Dandhi ini menilai, pernyataan yang disampaikan Presiden Jokowi tidak berada di ruang hampa. Ada situasi dan kondisi yang melingkupi ketika pernyataan tersebut disampaikan ke publik. Sebab, situasinya akan berbeda jika pernyataan tersebut disampaikan di periode awal pemerintahan Jokowi.
“Atas dasar itu, ada beberapa hal yang menjadi catatan penting untuk melihat situasi kebatinan yang melingkupi munculnya pernyataan Presiden Jokowi,” katanya.
Tiga Catatan Penting
Pertama, menurut Dandhi, dikotomi sipil-militer hingga saat ini masih menjadi ancaman laten perikehidupan bertanah-air, berbangsa, dan bernegara.
Di sisi lain, adanya keterlibatan beberapa purnawirawan TNI dalam kelompok aksi yang dipimpin oleh seorang mantan jenderal bintang empat yang saat ini terus berkonsolidasi membuat gerakan yang ditengarai untuk memakzulkan Jokowi.
“Ini tentu bisa dianggap sebagai bentuk ketidakrelaan militer terhadap keberhasilan kepemimpinan sipil,” katanya.
Kedua, pemisahan Polri dari TNI. Fungsi keamanan dan pertahanan yang menjadi ranah TNI mensyaratkan profesionalitas TNI adalah dengan kembali ke barak. Ini malah menimbulkan kecemburuan militer terhadap Polri yang saat ini posisinya langsung berada di bawah Presiden.
“Apalagi saat ini justru sedang terjadi fenomena ‘Dwi Fungsi Polri’, dimana banyak anggota Polri yang dikaryakan di berbagai institusi pemerintahan,” imbuh Dandhi.
Ketiga, merosotnya indeks tingkat kepercayaan publik terhadap Polri akibat kasus pembunuhan Duren Tiga yang melibatkan perwira tinggi Polri. Ini berbanding terbalik dengan indeks tingkat kepercayaan publik terhadap TNI yang terus meningkat.
“Ini memunculkan kerinduan publik atas hadirnya militer untuk memimpin bangsa ini seperti halnya di masa Orde Baru yang diharapkan lebih mampu memberikan rasa aman,” katanya.
Di luar ketiga hal tersebut, Dandhi menilai situasi yang melatari munculnya pernyataan Jokowi adalah meningkatnya aktifitas gerakan separatis di Papua. “Ini juga berpotensi memicu terjadinya lagi pelanggaran HAM seperti halnya yang terjadi di masa lalu, ” ujarnya.
“Upaya resolusi konflik yang dilakukan mensyaratkan adanya upaya-upaya penyelesaian damai tanpa pengerahan operasi militer,” sambung Dandhi.
Cara Pandang TNI dan Polri
Tetapi ada persoalan lain yaitu ketidaksamaan cara pandang antara TNI dan Polri dalam menyikapi gerakan separatis di Papua.
Penggunaan istilah yang digunakan kedua institusi sudah berbeda. Polri menggunakan bahasa Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) agar apa yang dilakukan oleh gerakan separatis Papua bisa dikategorikan sebagai kejadian kriminal.
Sedangkan TNI kerap menggunakan istilah Kelompok Separatis Bersenjata (KSB). “Hal ini yang kemudian membuat situasi di Papua makin karut marut, tidak menentu dan sangat berpotensi terjadinya lagi pelanggaran HAM,” papar Dandhi.
Terkait hal itu, Dandhi yakin pengakuan adanya pelanggaran HAM berat adalah upaya Presiden Jokowi yang tetap ingin menjaga supremasi sipil dan memastikan militer untuk tidak masuk ke wilayah politik terkait dengan kontestasi Pilpres 2024.
“Apapun itu, tidak ada makan siang yang gratis, pernyataan Presiden Jokowi berpotensi memunculkan reaksi keras dari Keluarga Besar TNI (aktif dan purnawirawan) yang merasa didiskreditkan,” kata Dandhi.
“Entah sadar atau tidak, melalui pernyataannya, Presiden Jokowi sedang membuka kotak pandora yang bisa memicu terjadinya huru-hara politik dalam skala massif secara nasional menjelang Pemilu 2024,” cetusnya.
Reaksi TNI
Menurut Dandhi, saat ini publik tinggal menunggu saja bagaimana reaksi dari keluarga besar TNI terhadap pernyataan Presiden Jokowi, sambil menunggu tindak lanjut dari Menkopolhukam Mahfud MD sebagai person in charge yang ditugaskan untuk menindaklanjuti proses hukum dari hasil temuan Tim PPHAM.
Seperti diketahui, Presiden Jokowi telah mengakui terjadi 12 peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hal ini disampaikan setelah Jokowi bertemu tim TPPHAM.
Adapun anggota tim ini antara lain Makarim Wibisono, Ifdhal Kasim, Suparman Marzuki, Mustafa Abubakar, Rahayu, As’ad Said Ali, Kiki Syahnakri, dan Komaruddin Hidayat.
Berikut 12 peristiwa yang terindikasi sebagai Pelanggaran HAM berat:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari, Lampung 1989
- Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989
- Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998
- Peristiwa kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999
- Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena, Papua di 2003
- Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"