KONTEKS.CO.ID – Pidato Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat HUT PDIP ke-50 jadi sorotan publik. Banyak yang menilai isinya menjelekkan pihak lain.
Namun Airlangga Pribadi, dosen ilmu politik Universitas Airlangga (Unair), berpendapat sebaliknya. Airlangga mengatakan, Megawati menyampaikan pesan-pesan politik yang kuat, padat dan bermakna. Pesan yang berakar mendalam pada tradisi politik progresif para pendiri bangsa.
“Pesan utamanya kalau ditafsirkan bahwa partai politik bukan sekedar mobil rental bagi calon eksekutif maupun legislatif untuk menapak pada kursi kekuasaan, namun partai adalah penyambung lidah rakyat Indonesia atau partai seharusnya memiliki bonding atau ikatan yang kuat dengan rakyat,” ujar Airlangga Pribadi, dosen ilmu politik Universitas Airlangga (Unair), Jumat 13 Januari 2023.
Airlangga mengatakan, pesan penting yang dikemukakan Megawati bahwa partai adalah organisasi politik yang memiliki tujuan kolektif untuk menciptakan pemimpin yang organik dalam koneksi antara kebijakan pemerintah-garis ideologi-partai politik- aspirasi rakyat yang koheren dan tidak terputus.
Disisi lain saat Megawati bicara apabila selfie banyak yang akan mendukungnya, bukan seperti pembahasan yang ada di ruang publik bahwa dia narsis. Namun justru Megawati sedang mengkritik narsisme politik dengan bahasa yang satire, bahwa politik itu soal substansi menjadikan ideologi sebagai arah jalan menerangi perjalanan bersama rakyat bukan gimmick pencitraan.
Selain itu, ketika Megawati mengingatkan pada Jokowi untuk konsisten dengan dua periode.
“Saya justru melihat inilah salah satu elemen kuat dalam pidato Megawati. Beliau memperlihatkan perhatian tulusnya kepada Jokowi, bahwa pembatasan kekuasaan sebagai substansi demokrasi harus dipegang teguh, karena Jokowi adalah bagian dari PDI Perjuangan. Pemimpin Republik Indonesia yang lahir dari kawah candradimuka politik partai ini,” sebutnya.
Ketulusan tersebut terlihat bahkan Megawati mengingatkan pada pengalaman traumatik dalam hidupnya ketika ayahnya Bung Karno dijebak dengan Presiden Seumur Hidup yang justru pada akhir kekuasaannya, Bung Karno dijatuhkan oleh orang-orang yang mengusung gagasan tersebut.
Hal penting lainnya dalam pidato tersebut adalah penekanan atas politik emansipasi kesetaraan laki-laki dan perempuan yang seharusnya menjadi lebih maju dalam demokrasi kita.
Megawati mengungkapkan hal itu dengan mengutip buku Soekarno berjudul Sarinah, serta menyebutkan perempuan-perempuan pahlawan pendahulu mulai dari Cut Nyak Dhien, Laksamana Malahayati sampai ibu Supeni duta besar keliling Indonesia yang dilantik oleh Bung Karno.
Menurut Airlangga, pesan-pesan politik progresif ini terasa asing di benak publik saat ini, saat politik lebih didominasi oleh hegemoni semangat individualisme.
“Sehingga tidak heran apabila pandangan-pandangan yang muncul atas pidato tersebutlah yang sebetulnya dangkal dan tidak memahami tradisi politik ideologis yang menjadi bagian dari kehidupan politik di Indonesia dalam masa keemasan politiknya,” katanya. ***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"