KONTEKS.CO.ID –Â Pernyataan Gibran terkait adanya keinginan adik bungsunya, Kaesang Pangarep, untuk terjun di dunia politik kontan saja menjadi viral.
Keinginan tersebut disampaikan pada acara makan malam keluarga yang juga dihadiri Presiden Jokowi, seperti yang diungkap Gibran di Surakarta, Selasa, 24 Januari 2023.
Setelah Gibran dan Bobby Nasution mengikuti jejak Jokowi, kini Kaesang menyusul untuk terjun ke dunia politik menjelang berakhirnya periode Presidensi Jokowi.
“Keinginan Kaesang mengokohkan kembali fenomena tradisi politik dinasti yang masih terus berlangsung di tengah praktik demokrasi liberal yang tengah berlangsung saat ini. Jokowi tentunya bukan Presiden pertama yang membawa rombongan keluarganya terjun ke politik,” ujar Direktur Eksekutif Strategi Institute, Mahendra Uttunggadewa, kepada konteks.co.id, Rabu, 25 Januari 2023.
Mahendra yang akrab disapa Dandhi ini menyampaikan, bahwa SBY dengan Partai Demokratnya, juga meneruskan tongkat estafet kepemimpinan partai ke Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), sementara Ketua Fraksi Partai Demokrat dipegang oleh Edhie Baskoro Yudhoyono.
Megawati sebagai Ketua Umum PDIP juga menggadang-gadang puterinya Puan Maharani yang saat ini jadi Ketua DPR-RI untuk jadi capres di Pemilu 2024.
Meski bukan sebagai calon Presiden, Amien Rais yang mantan Ketua MPR-RI 1999-2004 tak ketinggalan ikut juga memboyong keluarganya untuk terjun di PAN.
Tercatat dua anak Amien Rais, yaitu Mumtaz Rais dan Hanafi Rais. Mantan Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR-RI Akbar Tanjdung juga menggandeng keponakannya Ahmad Doli Kurnia Tandjung.
Paralel dengan itu, mantan Ketua DPR-RI Agung Laksono juga mengerek anaknya Dave Laksono. Theo L. Sambuaga membawa Jerry Sambuaga yang saat ini jadi Wakil Menteri Perdagangan.
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto menggendong Ravindra Airlangga yang saat ini adalah anggota DPR-RI.
“Fenomena ini seolah mengingatkan kembali fenomena demokrasi yang berlangsung di Amerika Serikat sebagai negara rujukan praktik demokrasi,” kata Dandhi yang juga aktivis 1998 dari FKSMJ ini.
“Tercatat bagaimana kakak beradik klan Kennedy seperti Edward Moore Kennedy yang jadi Senator Negara Bagian Massachusetts, Presiden Amerika John Fitzgerald Kennedy (JFK), juga Robert Francis Kennedy yang jadi Jaksa Agung semasa Presidensi JFK,” ujar Dhandi lagi.
Kekerabatan atau Persaudaraan Pada Konteks Nepotisme
Tidak hanya klan Kennedy di Partai Demokrat, di Partai Republik ada klan Bush dimana bapak dan anak menjadi Presiden Amerika Serikat, George H W Bush (Senior) dan George W Bush (Junior).
Pada konteks ini tentu pengertian nepotisme yang kerapkali dikaitkan dengan korupsi dan kolusi harus diuji ulang pada ukuran kepantasan, kepatutan, kelayakan, ketepatan dan keperluan di tingkat implementasi lapangan.
Secara tekstual berdasarkan KBBI Daring yang dikelola Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbud, Nepotisme memiliki tiga makna, pertama perilaku yang memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat.
Kedua adalah kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah, dan ketiga adalah tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.
“Bukan tidak mungkin kata nepotisme berpotensi untuk digunakan membunuh hak politik seseorang tanpa lagi melihat kapasitas dan kompetensi seseorang,” tegas Dandhi.
Kekerabatan atau persaudaraan pada konteks nepotisme tidak dapat tumbuh subur di tamansarinya meritokrasi yang tidak pernah memberi ruang bagi hadirnya spoils system dimana proses rekruitmen, mutasi, promosi berdasarkan selera pribadi atau berdasarkan kepentingan suatu kelompok, golongan, klik, komplotan atas dasar kedekatan hubungan darah.
Masalahnya, pada konteks kekinian dan kedisinian, keinginan Kaesang untuk terjun ke dunia politik – juga AHY, Mumtaz Rais, Doli Kurnia, Dave Laksono, Jerry Sambuaga, Ravindra Airlangga dan Puan Maharani – ada di tengah situasi dimana meritokrasi kalah oleh kleptokrasi dan plutokrasi sehingga oligarki memegang kendali kekuasaan negara yang sudah mengkhianati cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945.
Ditegaskan Dandhi, bahwa demokrasi politik yang tengah berlangsung tidak lagi didasarkan pada azas ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’.
“Demokrasi politik yang saat ini berlangsung tidak lebih hanya pseudo-demokrasi yang berorientasi pada pragmatisme kekuasaan dengan skema transaksional berbiaya tinggi,” ujar Dandhi.
Demokrasi telah bermutasi menjadi demonkrasi (demoncracy). Demokrasi telah berubah sifat dan perilakunya menjadi demonik yang serba penuh dengan tipu daya kemesuman, kenistaan, cemar, kejam, bengis dan keji. Demonkrasi dimana nepotisme bertumbuh kembang dengan subur.
Demonkrasi yang tidak memberi ruang dialektika bagi munculnya demokrasi ekonomi berdasarkan ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’.
Demokrasi ekonomi yang berazaskan pada sendi-sendi gotong-royong bersifat kolektif kolegial. Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. ‘Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan’, yang tidak eksploitatif dan bersifat rente. Demokrasi Ekonomi yang tidak kapitalistik dan anti oligarki.
Tanpa demokrasi dan meritokrasi yang berazas pada Pancasila, fenomena politik dinasti yang diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya oleh Gibran, Kaesang, AHY, Mumtaz Rais, Doli Kurnia, Dave Laksono, Jerry Sambuaga, Ravindra Airlangga, Puan Maharani dan masih banyak lagi yang lainnya, hanya akan memperbesar kendali penguasaan oligarki atas tanah-air Indonesia bagi sebesar-besarnya kemakmuran mereka.
Tinggal tunggu saja makan malam keluarga berikutnya. Jangan-jangan Jokowi masih menunggu pernyataan Kahiyang Ayu yang (mungkin) juga akan ikut terjun bebas ke dunia politik.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"