KONTEKS.CO.ID – Praktik demokrasi liberal berbiaya tinggi yang tengah berlangsung dengan mobilisasi dana dalam jumlah besar, membuat proses Pemilu tak ubahnya seperti industri politik skala nasional dengan melibatkan setiap WNI yang memiliki hak memilih dan hak dipilih.
Partai Politik berperan sebagai perusahaan-perusahaan nasional yang memproduksi berbagai produk, dari mulai Calon Legislatif (Caleg) DPRD Kabupaten/Kotamadya, DPRD Provinsi, DPR RI; Calon Bupati dan Wakil Bupati, Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota, Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, hingga Calon Presiden dan Wakil Presiden, sesuai dengan Daerah Pemilihan sebagai wilayah pemasaran produknya.
Direktur Eksekutif Strategi Institute, Mahendra Uttunggadewa, kepada konteks.co.id, mengatakan bahwa partai politik dengan berbagai tingkatan struktur dari tingkat pusat (nasional) hingga struktur terbawah di tingkat kelurahan, selain menjadi pemasok bahan baku para bakal calon (balon), sekaligus juga sebagai distributor dan agen penjualan produknya.
Mahendra yang akrab disapa Dandhi menyampaikan, kualitas produk diukur dari popularitas dan elektabilitas produk yang melibatkan lembaga-lembaga survei yang juga sebagai konsultan politik sekaligus berperan menjadi konsultan pemasarannya.
Lembaga survei yang juga konsultan politik bertugas untuk menciptakan pasar dengan berbagai strategi pemasaran berdasarkan berbagai hasil survei yang diperolehnya.
Di sisi lain, konstituen yaitu para pemilih di daerah pemilihan, berperan sebagai market yang akan dijadikan target pemasaran untuk membeli produk-produk yang ditawarkan oleh “perusahaan politik” yaitu partai politik.
“Produk yang ditawarkan akan dipromosikan dengan berbagai citra dan branding yang dikemas semenarik dan semenawan mungkin dengan menyuguhkan janji-janji politik maupun beraneka visi dan misi,” kata Dandhi yang juga aktivis 1998 dari FKSMJ ini.
Di era digital yang serba audio visual, selain media massa, media sosial menjadi pilihan utama media promosi yang menyasar warganet. Melalui media sosial, teknik pendekatan simulacra yang dikembangkan oleh Jean Baudrillard sangat berperan untuk membangun citra produk yang serba berseolah-olah dan penuh ilusi.
Selain partai politik dengan berbagai produknya, konstituen sebagai para pembeli produk, lembaga survei sebagai konsultan politik, ada juga Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dengan segala aturan main Pemilu, berperan sebagai marketplace yang menyediakan ruang bagi terselenggaranya transaksi yang transparan, jujur dan adil.
Tidak hanya KPU, ada pula Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), perannya kurang lebih sama dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang berperan untuk memastikan tidak terjadi kecurangan yang dilakukan oleh partai politik dalam proses pemilu.
Mekanisme transaksi melalui jual beli produk tentu tidak dengan menggunakan uang karena setiap produk yang ditawarkan partai politik akan dibeli oleh para pemilih dengan menggunakan hak suaranya sebagai pemilih.
Kalaupun ada dana berupa money politic, bisa dianggap sebagai cashback senilai harga suara yang ditransaksikan.
“Cashback ini pun besarannya sangat bervariasi, dari 50 ribu hingga 500 ribu. Ibarat judi yang taruhannya tanpa limit, siapa yang modalnya paling besar, dia yang pasti menang,” kata Dandhi.
Organisasi Relawan
Dari semua variabel yang terlibat di dalam industri politik Indonesia, ada satu variabel bebas yang turut meramaikan pasar politik. Variabel ini perannya kurang lebih sama dengan tengkulak yang mengijon suara dari para pemilih yang mereka organisir.
Bukan hanya keuntungan finansial yang mereka peroleh lewat potongan penyaluran dana cashback atas nama penggalangan massa, tapi success fee yang lebih menjanjikan bisa mengantarkan mereka ke kursi Wakil Menteri, atau setidaknya komisaris BUMN. Mereka inilah organisasi relawan.
“Tentu saja, keberadaan relawan dalam kontestasi politik elektoral memang lumrah adanya. Negara yang jadi barometer demokrasi semacam Amerika Serikat (AS) pun mengenal dan melibatkan relawan (volunteer) di dalam setiap momentum politik elektoral,” ujar Dandhi.
Bedanya, di AS, mereka yang menjadi relawan berangkat dari pemahaman dan kesadaran politik serta adanya kesamaan isu-isu yang diperjuangkan oleh para calon yang diusungnya secara ideologis, baik di tingkat pemilihan wali kota, gubernur negara bagian, senator, ataupun presiden.
Relawan di AS bukan mereka yang pengangguran tidak punya pekerjaan, lalu bermimpi jadi Wakil Menteri atau Komisaris BUMN. Mereka berhimpun dan terorganisir di bawah kendali langsung tim pemenangan yang dibentuk oleh para calon kandidat.
Mereka yang ingin jadi relawan harus melalui prosedur rekruitmen dan seleksi dengan persyaratan yang ketat untuk memastikan bahwa mereka bukan sekadar aktivis yang cari-cari kegiatan demi mencari uang dengan mengajukan proposal kegiatan.
Mereka juga dipastikan tidak terlibat berbagai kriminalitas maupun kegiatan-kegiatan yang mengancam kepentingan nasional. Karena bagaimanapun, keberadaan para relawan merupakan duta-duta yang membawa citra dari para calon yang diusungnya.
“Hanya dengan melihat relawannya, kita bisa mengetahui kualitas calon yang didukungnya,” kata Dandhi lagi.
Pada konteks itu menjadi menarik apa yang dilakukan oleh Immanuel ‘Noel’ Ebenezer yang mewartakan keinginannya untuk membubarkan organisasi relawan yang ditukanginya, Ganjar Pranowo Mania atau GP Mania.
Jika pun benar Noel ingin membubarkan GP Mania, keputusannya tetap saja menyisakan dua pertanyaan.
Pertama, apakah keputusan ini sungguh berangkat dari adanya sebuah kesadaran untuk tidak lagi memainkan organisasi relawan sebagai tunggangan politik demi mendapatkan kue kekuasaan?
Atau, pertanyaan kedua, dengan bubarnya GP Mania, apakah ia akan membentuk organisasi relawan baru untuk mendukung capres yang lain dengan nama Prabowo Mania atau pun Anies Baswedan Mania?
Mari kita tunggu Jawabannya dalam konperensi pers yang akan digelar pada Kamis, 9 Februari 2023.***
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"