KONTEKS.CO.ID – Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute, Ikhsan Yosarie menyatakan vonis mati atas terdakwa pembunuhan berencana, Ferdi Sambo secara mainstream dianggap setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya, yakni merencanakan pembunuhan atas mendiang ajudannya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
“Namun, dalam konstruksi hukum hak asasi manusia, hukuman mati adalah bentuk pelanggaran hak hidup. Hak hidup adalah given dan nilai universal bagi rezim hukum HAM dan dianut negara-negara beradab,” kata Ikhsan melalui keterangan tertulis, Selasa 14 Februari 2024.
Ikhsan menamnahkan, artinya dalam menghukum orang yang dianggap bersalah, negara melalui pranata peradilan tidak diperkenankan menghukum mati, apapun jenis kejahatannya.
“Memang dapat dimaklumi, bahwa hakim mengambil vonis mati karena pidana mati masih dianggap sebagai hukum positif, meski arus utama para pembentuk UU sudah meletakkan hukuman mati sebagai pidana alternatif dalam KUHP baru,” paparnya.
Selain itu menurutnya, Pengadilan di tingkat banding dan kasasi masih memungkinkan negara mengoreksi pidana mati dengan hukuman lain yang setimpal dan membuat efek jera bagi Sambo.
“Paralel dengan peristiwa yang melilit sejumlah anggota Polri, peristiwa Sambo harus menjadi pembelajaran serius bagi Polri. Bukan hanya fokus membenahi citra tetapi kinerja,” tegasnya.
Atas dasar itu menurutnya, apa yang disampaikan Kapolri mengenai reformasi Polri harus benar benar digerakan kembali.
“Agenda reformasi Polri harus kembali digerakkan setelah mandek dalam satu dekade terakhir,” pungkasnya.
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"