KONTEKS.CO.ID – Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi mencurigai Penggunaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dijadikan instrumen untuk melindungi istri Ferdy Sambo, Putri Candrawati (Putri Sambo).
“Jadi upaya menggunakan instrumen UU TPKS untuk mendapat justifikasi sebagai korban itu yang kami tolak,” tegas Edwin di Bandung, Sabtu (24//2022).
“UU TKPS bukan untuk melindungi orang orang seperti ini. UU TPK untuk melindungi korban sebenarnya, untuk melindungi real korban, bukan korban fake, korban palsu,” tambahnya.
Edwin mengungkapkan, penggunaan UU TPKS sebelumnya tidak pernah muncul baik di LP tanggal 8 maupun 9 Juli Putri Sambi. Penggunaan UU TPKS baru pertama kali muncul dalam rapat di Polda Metro Jaya pada 29 Juli 2022 yang dipimpin langsung oleh Wadirkrimum AKBP Jerry Raymond Siagian, yang saat ini telah dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat melalui sidang etik.
“Nah munculnya soal UU TPKS itu pada tanggal 29 Juli, pada rapat koordinasi di Polda metro yang dipimpin oleh Dirkrimum, kementerian lembaga termasuk LPSK dan dari Pihak Polda diwakili Wadirkrimum itu menyampaikan bahwa kalau dasar UU TPKS tersangka harus segera diumumin, di situ munculnya UU TPKS,” ungkapnya.
Dari proses ini awal LPSK melihat ada keganjilan, apalagi LPSK diminta menerima begitu saja hasil asesmen kepolisian terkait Putri. Padahal Putri Sambo sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan berencana terhadap mantan ajudan Irjen Ferdy Sambo, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau dikenal Brigadir J.
“UU TPKS dijadikan instrumen legal melindungi ibu PC, tanpa ada upaya membuktikan apakah posisi Ibu PC sebagai korban kekerasan seksual itu benar atau tidak,” tanyanya.
Selanjutnya kecurigaan semakin menguat saat Putri Sambo tidak mau berbicara pada LPSK termasuk psikolog dari lembaga ini. Bahkan menurut Edwin, selama 14 tahun berdiri baru Putri yang mengaku korban kekerasan seksual dan mengajukan perlindungan tapi tidak mau bicara.
“Ibu PC adalah pemohon perlindungan yang paling unik, karena satu satunya pemohon sepanjang LPSK berdiri yang tidak bisa, tidak mau dia menyampaikan apapun kepada LPSK. Padahal dia yang butuh LPSK bukan LPSK butuh Ibu PC,” ungkapnya.
Hal itu nampan berbeda dengan proses asesmen kepolisian, dimana Putri Sampo nampan mudah berbicara.
“Ini jadi pertanyaan buat kami, kok sama psikolog lain bisa ngomong, kalau psikolog kami nggak bisa ngomong? Kok di Mako Brimob bisa ngomong, di depan kami nggak bisa ngomong? Kok depan penyidik bisa ngomong, sama LPSK nggak bisa ngomong, kok milih-milih,” paparnya.
Dengan banyak pertimbangan itu LPSK akhirnya memutuskan menolak permohonan perlindungan terhadap Puti Sambo.
“Pada konteks kekerasan seksual umumnya ada dua hal terpenuhi, satu relasi kuasa dua pelaku memastikan tidak ada saksi. Dua duanya gugur pada kasus Ibu PC,” tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan Konteks langsung dari ponselmu. Konteks.co.id WhatsApp Channel
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di:
"Google News"