KONTEKS.CO.ID – Dalam konteks ekonomi Islam, istilah gharar sering kali muncul karena terkait dengan proses jual beli. Secara bahasa, gharar berarti pertaruhan (Al-Mukhtharah) dan ketidakjelasan (Al-Jahalah).
Jual beli gharar adalah jual beli barang yang tidak pasti, sehingga wujud dan hal-hal lain pada barang tersebut tidak jelas adanya.
Hal ini membuat Rasulullah sendiri melarang praktik jual beli karena ketidakpastiannya sebagaimana hadits riwayat Muslim. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenalinya agar tidak terjebak dalam praktik jual beli yang terlarang.
Gharar dalam bahasa Arab berarti Al-Khatr (pertaruhan). Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa gharar adalah sesuatu yang tidak jelas hasilnya (Majhul Al-‘Aqibah).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka benar bila jual beli dengan sistem ini tidak boleh karena melibatkan pemakanan harta orang lain dengan cara yang bathil (tidak sah).
Larangan terhadap gharar tertera dalam Alquuran surat An-Nisa [4] ayat 29, yang secara garis besar melarang saling memakan harta seseorang melalui cara yang bathil.
Bathil di sini berarti tidak terbuka dan cenderung merugikan salah satu pihak, kecuali jika melibatkan perniagaan atau perdagangan yang sah.
Jenis-jenis gharar berbeda berdasarkan objek dan ketidakjelasan serta ketidakpastiannya, antara lain:
- Ma’dum (Membeli Barang yang Belum Ada)
Contohnya adalah jual beli janin hewan ternak yang masih berada di dalam tubuh betina. Misalnya, jual beli susu yang belum di peras, janin dalam perut betina, dan wol yang masih menempel pada kulit hewan.
- Barang yang Tidak Jelas Sifatnya
Dalam transaksi jual beli, harus terdapat kejelasan mengenai sifat barang dalam jual beli. Contohnya, penjualan barang tanpa kejelasan jenis, ukuran, atau kondisi barang tersebut.
- Barang yang Tidak tanpa bisa Menyerahkannya
Jenis gharar ini terjadi ketika penjual menawarkan barang yang sebenarnya tidak dapat dia serahkan, seperti menjual motor hasil curian atau jual beli budak yang melarikan diri.
- Jual Beli Tanpa Kejelasan Harga
Gharar juga dapat terjadi akibat ketidakjelasan harga dalam transaksi. Misalnya, penjual menawarkan barang dengan harga tertentu dalam pembayaran tunai dan pembayaran angsuran, namun tidak ada kejelasan mengenai salah satu pembayarannya.
Meski umumnya tidak memperbolehkan gharar, terdapat beberapa kondisi dan faktor tertentu untuk memperbolehkan jual beli gharar.
Contohnya adalah jual beli rumah hanya dengan melihat pondasinya. Meskipun tidak ada kejelasan mengenai ukuran dan jenis rumah tersebut, hal ini boleh dilakukan karena merupakan kebutuhan dan rumah beserta pondasinya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Namun, terdapat perbedaan pendapat di antara ulama terkait beberapa jenis gharar yang masih dalam perdebatan. Misalnya, jual beli tanah yang masih terpendam di dalamnya kacang tanah, wortel, bawang, dan sejenisnya.
Imam Malik berpendapat bahwa gharar tersebut ringan atau tidak terlepas dari kebutuhan jual beli dan memperbolehkannya. Sementara Imam Syafi’i dan Imam Hanafi menganggap gharar tersebut besar dan mengharamkannya.
Dalam praktek ekonomi Islam, penting bagi umat Muslim untuk memahami konsep gharar dan menghindari praktik jual beli yang melibatkan ketidakpastian dan ketidakjelasan yang berlebihan.
Dengan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian, umat Muslim dapat menjalankan transaksi ekonomi yang sesuai dengan ajaran agama mereka.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"