KONTEKS.CO.ID – Dikutip dari buku Sejarah karya Drs. Prawoto, M. Pd (2007:9), pada masa jabatan Gubernur Jenderal van den Bosch tahun 1830, diperkenalkan peraturan baru yang dikenal dengan sebutan ‘tanam paksa’.
Golongan Liberal Menentang Kebijakan Tanam Paksa
Tujuan utamanya adalah untuk menghasilkan keuntungan maksimal guna menutup defisit keuangan Belanda dengan memungut pajak dalam bentuk hasil bumi.
Meskipun peraturan mengenai kebijakan tanam paksa pada dasarnya tidak terlalu memberatkan, penerapannya sangat merugikan rakyat Indonesia.
Oleh karena itu, beberapa tokoh mulai menggulirkan perlawanan terhadap tanam paksa, di antaranya adalah:
- Baron van Hoevell: Seorang pendeta Belanda, meskipun berasal dari Belanda, ia menentang tanam paksa dan menuntut pemerintah untuk memperhatikan nasib rakyat Indonesia.
- Eduard Douwes Dekker: Juga dikenal sebagai Multatuli, seorang Belanda yang menentang tanam paksa. Ia bahkan menulis buku berjudul “Max Havelaar atau Lelang Kopi Perdagangan Belanda” yang berisi tuntutannya kepada pemerintah Belanda agar memperhatikan nasib rakyat Indonesia.
- Fransen van de Putte: Seorang keturunan liberal dari Belanda, ia menentang tanam paksa dan menyuarakan protes melalui bukunya “Suiker Contracten”.
- Golongan Pengusaha: Pengusaha juga menentang sistem tanam paksa karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip ekonomi liberal.
Penentangan terhadap tanam paksa terus meningkat, terutama dari kalangan Belanda sendiri dan kaum liberal. Pada tahun 1865, akibat penentangan yang besar, sistem tanam paksa dihapuskan.
Pada tahun yang sama, lahir Undang-Undang Agraria tahun 1870, yang mengatur kepemilikan tanah negara sambil memberikan peluang bagi masuknya modal swasta.
Alasan Kaum liberal menentang Kebijakan tanam paksa pada umumnya karena menginginkan keterlibatan pemerintah yang lebih sedikit dalam urusan ekonomi. Mereka berharap agar kegiatan perekonomian dapat dikendalikan oleh sektor swasta.***
Baca berita pilihan konteks.co.id lainnya di "Google News"